Jumat, 11 September 2009

RUU Rahasia Negara, Orde Baru Jilid Kedua

Kompas, Jumat, 11 September 2009 | 03:18 WIB

Jakarta, Kompas - Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara yang merupakan usul inisiatif pemerintah harus ditolak. RUU ini bisa mendorong Indonesia kembali menjadi negara otoriter atau Orde Baru jilid kedua.

Demikian pandangan Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Djafar Badjeber, Kamis (10/9), terkait akan dipaksakannya pengesahan RUU Rahasia Negara meskipun banyak mengundang kecaman berbagai elemen masyarakat sipil.

Sebagai calon anggota DPR terpilih, ia juga meminta anggota DPR periode 2004-2009 untuk menyerahkan pembahasannya kepada DPR periode berikutnya. ”Bila dipaksakan oleh DPR yang sekarang, saya khawatir undang-undang tersebut akan menabrak kebebasan pers, mengkhianati reformasi dan demokrasi,” ujarnya.

Menurut Djafar, sesungguhnya iklim kebebasan baru dinikmati bangsa Indonesia dalam sepuluh tahun belakangan ini. Dengan adanya RUU Rahasia Negara itu, kebebasan tersebut akan kembali dikekang seperti pada era Orde Baru. Akan ada lagi kontrol pemerintah terhadap pers, lembaga telepon, penahanan terhadap insan pers, sampai kepada pemberedelan. ”Awas Orba jilid kedua atau rezim otoriter,” katanya.

Sejauh ini Partai Demokrat sebagai partai pemerintah yang dibina langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan selalu menjanjikan kehidupan yang lebih demokratis dalam kampanye belum menunjukkan sikap penolakan atau penundaan pembahasan RUU Rahasia Negara itu.

Mencermati daftar inventarisasi masalah yang diajukan Fraksi Partai Demokrat, banyak yang sama persis dengan pasal-pasal yang diajukan pemerintah.

Kejahatan luar biasa

Pembahasan RUU Rahasia Negara oleh panitia kerja, Kamis, mulai memasuki pasal-pasal tentang sanksi pidana pembocoran rahasia negara.

Walau memicu kontroversi, pembahasan Pasal 44 RUU Rahasia Negara terkait sanksi pidana penjara dan denda yang ditetapkan terbilang lancar.

Bahkan, rumusan yang disepakati tidak jauh berbeda dengan rumusan pemerintah versi awal. Rumusan itu pada intinya mengatur soal ketentuan pidana, baik hukuman penjara maupun denda, yang ditetapkan dengan batas minimal dan maksimal sesuai dengan tingkat kerahasiaan informasi tersebut.

”Ketentuan hukuman pidana minimal dan maksimal diperlukan mengingat kejahatan pembocoran rahasia negara termasuk kategori kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Kejahatan itu bisa membahayakan keutuhan, keselamatan, serta kedaulatan bangsa dan negara,” ujar anggota panitia kerja dari Fraksi Kebangkitan Bangsa, Effendy Choirie.

Rata-rata hukuman pidana penjara paling sedikit tiga tahun (kategori rahasia) dan paling tinggi 20 tahun (kategori sangat rahasia), serta denda paling kecil Rp 100 juta hingga Rp 5 miliar (keduanya dalam kategori sangat rahasia).

Sementara dalam kondisi perang, ancaman hukuman yang ditetapkan jauh lebih berat, mulai dari pidana seumur hidup hingga hukuman mati.

Panitia kerja juga menolak keberadaan klausul tambahan tentang aturan pengecualian (escape clause), yang sebelumnya diusulkan sejumlah anggota panitia kerja dari fraksi partai politik.

Usul klausul pengecualian, antara lain, dilontarkan Dedi Djamaludin Malik dari Fraksi Partai Amanat Nasional. Ia mengusulkan perlunya pengecualian sanksi pidana denda terhadap jurnalis dan media massa.

”Saya yakin jurnalis dan media massa memang bakal sangat dan sering bersinggungan dengan ketentuan dalam rancangan undang-undang ini. Mereka bisa dengan mudah dipenjarakan. Mungkin perlu dipikirkan agar jurnalis tidak perlu lagi dikenai sanksi denda karena hal itu sama artinya menjadikan mereka sudah jatuh tertimpa tangga,” ujar Djoko Susilo dari Fraksi Partai Amanat Nasional. (SUT/DWA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar