Jumat, 11 September 2009

Babak Akhir RUU Rahasia Negara

Kompas, Jumat, 11 September 2009 | 03:23 WIB

Wisnu Dewabrata

Ibarat sebuah pertandingan sepak bola, menjelang menit-menit terakhir, Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara, terdiri dari unsur pemerintah dimotori Departemen Pertahanan dan unsur perwakilan fraksi Komisi I, semakin rajin menggocek ”bola panas” draf RUU Rahasia Negara.

Berbagai upaya terus digelar di tengah bermacam kritik dan kecaman gencar dari sejumlah kalangan masyarakat sipil.

Sebut saja dua kali rapat intensif (konsinyering) yang digelar bersama dalam kurun waktu dan tempat berbeda.

Rapat intensif pertama, 18-20 Agustus 2009, diadakan di Wisma DPR Kopo di Puncak, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, sementara yang kedua, 4-9 September, digelar di Jakarta.

Keputusan Panja RUU Rahasia Negara untuk menetapkan rapat pembahasan sebagai rapat terbuka bagi masyarakat memang harus diapresiasi.

Namun, tidak dapat dimungkiri, upaya percepatan dilakukan dengan mencolok, bahkan sangat kontras, jika dibandingkan dengan proses pembahasan RUU lain, seperti RUU Peradilan Militer, yang menjadi inisiatif DPR.

Keluhan tentang itu disampaikan Ketua Pansus RUU Peradilan Militer Andreas Pareira dari Fraksi PDI-P.

”Saya mendapat kesan pemerintah selalu menghindar dalam konteks pembahasan RUU Peradilan Militer ini. Sementara sebaliknya, di RUU Rahasia Negara pemerintah sangat bersemangat. Sayangnya, banyak rekan kita di DPR terperangkap dalam irama yang didendangkan pemerintah,” ujar Andreas.

Tidak hanya mengupayakan adanya percepatan dalam proses pembahasan RUU Rahasia Negara, pemerintah dalam hal ini Departemen Pertahanan juga berupaya sekuat tenaga meyakinkan semua pihak tentang pentingnya aturan tentang kerahasiaan negara.

Keberadaan RUU Rahasia Negara, menurut versi Dephan, sangatlah penting dan diadakan untuk memberikan jaminan adanya kepastian aturan terkait persoalan itu.

Upaya pemerintah itu didukung penuh pihak legislatif yang berargumen RUU itu sangat penting. Menurut mereka, akan jauh lebih baik jika RUU Rahasia Negara dibahas oleh legislatif periode 2004-2009, yang juga melahirkan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Legislatif punya kepentingan untuk memastikan ketentuan dalam dua produk aturan tersebut sudah sinkron dan dapat berjalan berdampingan serta saling melengkapi. Oleh karena itu, kata Ketua Komisi I dari Fraksi Partai Golkar Theo L Sambuaga, pihaknya sempat menunda pembahasan RUU Rahasia Negara beberapa waktu lalu karena Komisi I ingin mendahulukan pembahasan UU KIP.

”Tujuannya agar kami bisa terlebih dahulu berkonsentrasi menuntaskan UU Keterbukaan Informasi Publik, yang nantinya kami akan minta agar pemerintah menyinkronkan RUU Rahasia Negara dengan UU itu. Kami juga sempat mengembalikan draf RUU Rahasia Negara untuk memberi pemerintah kesempatan menyinkronkannya dengan UU Keterbukaan Informasi Publik,” ujar Theo, pekan lalu.

Lebih lanjut, upaya mencari perbandingan juga sempat dilakukan Panja RUU Rahasia Negara yang mengunjungi dua negara, Thailand dan Hongaria, dalam waktu berbeda. Rombongan pertama ke Hongaria, 24-29 Juli 2009, sementara rombongan kedua ke Thailand, 27 Juli hingga awal Agustus 2009.

Studi banding dilakukan untuk mencari tahu seperti apa aturan rahasia negara di kedua negara tadi dan bagaimana pengelolaan serta penerapan yang mereka lakukan.

Sayangnya, dalam pengamatan Kompas, hasil studi banding ataupun pemaparan perbandingannya nyaris tidak pernah disinggung atau dipaparkan dalam rapat-rapat pembahasan panja setelahnya.

Acara itu pun nyaris tidak diketahui banyak kalangan, termasuk media massa, lantaran digelar pada masa reses.

Ditolak

Masyarakat Pers Indonesia, yang terdiri dari Dewan Pers, Persatuan Wartawan Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, Yayasan Sains Estetika dan Teknologi, serta sejumlah elemen masyarakat sipil lainnya, mendatangi Panja RUU Rahasia Negara, Selasa (8/9), menyatakan penolakan mereka.

Penolakan terutama didasari keyakinan banyaknya pasal dalam RUU yang tidak sesuai dengan semangat reformasi dan berpotensi menghambat, bahkan menjegal, upaya penegakan hukum, pemberantasan korupsi, pembentukan pemerintah yang bersih, akuntabel, dan transparan, serta penegakan prinsip hak asasi manusia.

Tidak cuma itu, sejumlah pasalnya, terutama terkait sanksi pidana penjara dan denda, diyakini bakal berdampak buruk membredel dan memberangus kebebasan pers, baik dengan membangkrutkan perusahaan media massa maupun dengan mengkriminalkan para jurnalisnya dengan mengatasnamakan keselamatan, kedaulatan, sekaligus keutuhan bangsa dan negara.

Agus Sudibyo dari Yayasan SET menilai rumusan rahasia negara kali ini masih sangat luas dan elastis. Tidak hanya itu, proses penentuan rahasia negara pun dilakukan secara dominan oleh presiden, yang juga dapat mendelegasikan kewenangan itu ke para bawahannya.

”Selain itu, banyak hal yang dirahasiakan murni bersifat kategorikal dan tidak melalui suatu uji konsekuensi dan uji kepentingan publik. Dengan ruang lingkup yang sangat luas, ditambah sifatnya yang sangat elastis tadi, rahasia negara tidak akan mungkin bisa dibuka walau dengan alasan demi melindungi kepentingan publik yang lebih besar,” ujar Agus.

Selain itu, sejumlah sanksi pidana, baik penjara maupun denda, dalam RUU itu diyakini pada praktiknya bakal menjadi bentuk bredel cara baru, terutama dengan nilai nominal denda yang sangat fantastis hingga miliaran rupiah.

Tidak heran, RUU itu diyakini banyak pihak bakal menjadi kado buruk pada akhir masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jika jadi disahkan dan diberlakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar