Sabtu, 22 Agustus 2009

Tamat SMA

Aku hanya orang biasa. Tidak terkenal apa lagi populer. Tak punya koneksi politik dengan siapapun. Cita-cita yang pernah bergelayut semua dikepala rasanya harus satu demi satu kukubur dalam-dalam. Semua harus ada koneksi, baik uang ataupun orang. Hidupku sama dengan jutaan rata-rata Rakyat Indonesia. Rakyat lemah yang dibikin bodoh tersistematis dan massif. Barangkali, sekali berondong langsung tumpes tapis tanpa sisa. Pemerintah lebih senang membangun kekuatan militer dan jajaran aparatnya. Untuk apa? Kenapa tidak ekonomi yang diperkuat. Ah, tahu apa aku soal ekonomi. Aku terlalu bodoh untuk pelajaran yang masuk dalam kategori hapalan itu.

Ada yang bilang sekolah tak usah pinter-pinter. Cukup biasa saja asal nurut dan rajin masuk untuk sekedar hadir. Guru akan sayang pada kita. Persoalan UN yang konon menentukan kelulusan itu ada kok yang mengatur asal mampu bayar berapa per soal. Ketika lulus bagi orang biasa seperti aku tinggal urban ke Jakarta tempat harapan digantungkan. Sayangya aku harus menunda satu tahun lagi karena tak mampu bayar per soal. Atau pilihan kedua saran dari pemerintah, lulus dengan stempel Paket C yang memuakkan itu. Betapa tidak, kalau tahu akan dapat Paket C kenapa juga harus capek-capek masuk ke SMA, hanya buang dana, pikiran dan tenaga saja. Hendaknya khusus orang biasa seperti diriku ini cukup Paket paketan saja dari A, B kemudian C. Toh sama saja hasilnya menganggur tanpa mampu pemerintah memikirkan.

Sebuah ayat mengatakan nasib orang tak akan bisa dirubah tanpa ada kemauan orang itu sendiri yang merubahnya. Pada dasarnya kita setuju. Hanya mau dari mana merubahnya dan cara apa. Pada suatu waktu seseorang berbincang dengan salah seorang temannya “Kalau saya punya modal ada banyak jenis usaha yang dilakukan, sayang saya tak punya modal, ada nggak ya yang mau memberikan saya modal untuk usaha?”. Jawabannya ada. Tapi buat bohong-bohongan sekedar demi memenuhi rating citra yang ada. Salah satunya adalah Program KUR yang konon memberikan modal tanpa agunan itu pada kenyataanya tidak sama dengan apa yang digemborkan.

Belum lagi para pemodal besar. Kekuatan besar itu selalu membayangi dan menumpas yang kecil-kecil. Dalam ekonomi (ah, lagi-lagi ku berbicara ekonomi.. ) bebas, persaingan tanpa kontrol lah sumber dari malapetaka kehidupan bangsa ini. Jangan berharap pada pemerintah karena mereka justru berpihak pada pasar. Bukan pasar Klewer atau Wage, tapi pasar bebas! Itu, yang katanya semua orang dari penjuru dunia ini bisa transaksi seenaknya sendiri dimanapun, tak terkecuali negeri kita.

Hari demi hari harus berjuang keras untuk sekedar memuasi perut yang tak jarang kosong sepanjang hari. Barangkali hal itu pula yang membuatku tak lulus di tahun ini. Selalu kosong perut. Makan selalu sambal tentara dan tempe. Disebut sambal tentara karena warnanya yang berasal dari cabai hijau dan garam. Juga tak ketinggalan tempe yang konon membuat mental menjadi rendahan alias tak bernyali. Ternyata tidak hanya itu, masih berdasarkan mitos yang ada tempe membuat budek karena ampasnya memenuhi lubang telinga.

Mau cari lowongan kerja sulitnya setengah mati. Mungkin mati beneran jauh lebih enak. Pernah selintas mau bunuh diri tapi ingat bagaimana rasa sakitnya ku urungkan niat itu. Iya kalau langsung mati. Kalau ketahuan orang lantas ditolong terus tak jadi mati, mau taruh dimana muka yang pas-pasan ini!

Terakhir, mau tak mau kita memang harus menentukan nasib kita sendiri. Walau masih bingung dengan cara apa dan bagaimana, jalan saja. Toh kalau ketemu tembok akan nabrak. Ha ha.. kalau nggak ke kiri ya ke kanan. Kalau perlu kita robohkan bareng-bareng tembok itu. Biar kita tahu seperti apa indahnya pemandangan dibalik tembok itu. Piye? -ml-


^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar