Jumat, 21 Agustus 2009

Merdeka, yuk !

Siapa bilang hari ini kita merdeka? Merdeka macam mana yang tersaji dihadapan mata kita sekarang? Sayang, kemerdekaan yang justru memuakkan bagi Rakyat dewasa ini. Merdeka ala imperialis barat yang dengan senang hati menggerogoti segala sendi-sendi kehidupan Rakyat? Merdeka versi neoliberalisme yang tertawa terkial melihat kebodohan bangsa kita yang kian kocak? Atau merdeka ala para raja-raja kecil dan besar baik nasional maupun daerah yang tanpa kenal lelah menghimpun pundi-pundi kekayaan tanpa batas?

Ah, aku merasa merdeka karena baru saja menang lomba balap karung, panjat pinang, dan berbagai ajang unjuk sportifitas yang digelar tiap tahun selalu sama. Tak ada yang istimewa. Karena memang sama. Yang ada nasionalisme RT. Ketika kalah dengan RT sebelah dengan senang hati pasti terjadi tawuran. Belum lagi ditambah pemicu dangdutan yang mana goyangan megal megol membuat panas kepala atas dan bawah. Tapi tak usah diatur dengan moral. Kasihan. Ia makan dengan megal megol. Terlalu sombong kalau kita melemparkan pertanyaan “Emang tak ada pekerjaan lain?” Jangankan kita yang masih tekun melototi iklan baris lowongan kerja, pemerintah sendiri saja tak mampu memberikan pekerjaan yang layak. Bukan megal megolnya yang salah karena ternyata kepala kita sendiri yang kadang tanpa disadari membuat megal megol itu tambah liar dari pemiliknya.

Pengangguran dilihat dari sebuah angka statistic, buta huruf dipandang dari hal yang sama, angka-angka, sementara pemerataan dan diskriminasi pendidikan berdendang nada menyedihkan. Sekolah gratis sampai SMP hanya slogan semata. Sungguh sayang iklan yang telah ditayangkan dimana menghabiskan biaya tidak sedikit. Atau memang cukup dengan citra barangkali Rakyat dibikin kenyang. Silakan tengok pada sekolah berstempel gratis itu, apakah demikian adanya. Sialnya, lagi-lagi hanya Tuhan yang tahu. Kita sama sekali tak diberi tahu kalau pungutan itu tetap ada karena ternyata beda nama dan jenis kumis, melintang atau sekepal punya Pak Raden.

Disaat pemerintah menyelenggarakan ajang jual beli suara dan berbagai jenis kertas, semua ramai. Semua bicara Neolib berdasarkan kepentingannya. Yang konon pro terhadap Rakyat mengatakan bahwa Neoliberalisme buruk karena rakyat akan selalu dirugikan! Barang-barang tetap mahal, ekonomi makro yang dipikirkan ! pedagang kaki lima akan tergusur karena tak ada lagi jual beli barang nyata. Yang ada jual beli kertas, surat utang, dan berbagai jenis barang yang tak nyata, sementara yang tidak mau dibilang pro terhadap Neolib memutar lidah dengan berbagai macam definisi akademik yang menjengkelkan bagi telinga Rakyat jelata.

Pendapatan Rakyat tak pernah bertambah dari segi nilai. Pendapatan minimal dua dollar satu hari menurut lembaga dunia itu adalah sebuah pelecehan. Seenaknya membuat standar yang bagi kebanyakan orang semakin menyakitkan mengingat tak banyak yang dilakukan oleh lembaga itu ke arah lebih baik. Faktanya adalah masih jauh dibawah angka itu dibanding dengan kebutuhan yang setiap saat naik dimana pemerintah tak mampu mengendalikan. Lho, kan semua harga sudah diserahkan kepada pasar? Lalu apa pekerjaan pemerintah kalau semua sudah diserahkan pada pasar. Jangan-jangan harga diri bangsa juga tergadai pada pasar! Atau memang sudah terjadi barangkali? Hiruk pikuk yang ada hanya APS, Asal Paman Sam Senang? Ada yang bertanya mau dibawa kemana bangsa ini? Barangkali orang itu masih hidup di jaman Majapahit. Nyata-nyata sudah dibawa kesitu. - ml -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar