Jumat, 18 September 2009

SELAMAT MERAYAKAN HARI RAYA IDUL FITRI 1430

SEGENAP KATA, PIKIR, UCAP, DAN LAKU YANG SUDAH SEJAK DALAM PIKIRAN KELUAR KE DUNIA NYATA TIDAK SELAMANYA BENAR ADANYA, APALAGI BERKENAN BAGI ORANG LAIN. SEGALA SALAH, KHILAF DAN BERBAGAI VARIAN DOSA MANUSIA YANG SELALU MELEKAT DALAM TUBUHNYA AKAN TERUS BERANAK PINAK SELAMA ANAK MANUSIA MASIH DIBERI KEHIDUPAN.
UNTUK ITULAH MANUSIA DIPERINTAHKAN UNTUK SELALU BERTOBAT KEPADA-NYA. DEMIKIAN HALNYA SAYA, TAK MUNGKIN LUPUT DARI SEMUA DOSA YANG ADA. PADA MOMEN DAN WAKTU YANG TERSISA INI IJINKANLAH SAYA TUK MENGUCAPKAN MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN. SELAMAT MERAYAKAN HARI RAYA IDUL FITRI 1430 H. SEKALI LAGI, MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN.. NUWUN. ^_^

Jumat, 11 September 2009

Babak Akhir RUU Rahasia Negara

Kompas, Jumat, 11 September 2009 | 03:23 WIB

Wisnu Dewabrata

Ibarat sebuah pertandingan sepak bola, menjelang menit-menit terakhir, Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara, terdiri dari unsur pemerintah dimotori Departemen Pertahanan dan unsur perwakilan fraksi Komisi I, semakin rajin menggocek ”bola panas” draf RUU Rahasia Negara.

Berbagai upaya terus digelar di tengah bermacam kritik dan kecaman gencar dari sejumlah kalangan masyarakat sipil.

Sebut saja dua kali rapat intensif (konsinyering) yang digelar bersama dalam kurun waktu dan tempat berbeda.

Rapat intensif pertama, 18-20 Agustus 2009, diadakan di Wisma DPR Kopo di Puncak, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, sementara yang kedua, 4-9 September, digelar di Jakarta.

Keputusan Panja RUU Rahasia Negara untuk menetapkan rapat pembahasan sebagai rapat terbuka bagi masyarakat memang harus diapresiasi.

Namun, tidak dapat dimungkiri, upaya percepatan dilakukan dengan mencolok, bahkan sangat kontras, jika dibandingkan dengan proses pembahasan RUU lain, seperti RUU Peradilan Militer, yang menjadi inisiatif DPR.

Keluhan tentang itu disampaikan Ketua Pansus RUU Peradilan Militer Andreas Pareira dari Fraksi PDI-P.

”Saya mendapat kesan pemerintah selalu menghindar dalam konteks pembahasan RUU Peradilan Militer ini. Sementara sebaliknya, di RUU Rahasia Negara pemerintah sangat bersemangat. Sayangnya, banyak rekan kita di DPR terperangkap dalam irama yang didendangkan pemerintah,” ujar Andreas.

Tidak hanya mengupayakan adanya percepatan dalam proses pembahasan RUU Rahasia Negara, pemerintah dalam hal ini Departemen Pertahanan juga berupaya sekuat tenaga meyakinkan semua pihak tentang pentingnya aturan tentang kerahasiaan negara.

Keberadaan RUU Rahasia Negara, menurut versi Dephan, sangatlah penting dan diadakan untuk memberikan jaminan adanya kepastian aturan terkait persoalan itu.

Upaya pemerintah itu didukung penuh pihak legislatif yang berargumen RUU itu sangat penting. Menurut mereka, akan jauh lebih baik jika RUU Rahasia Negara dibahas oleh legislatif periode 2004-2009, yang juga melahirkan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Legislatif punya kepentingan untuk memastikan ketentuan dalam dua produk aturan tersebut sudah sinkron dan dapat berjalan berdampingan serta saling melengkapi. Oleh karena itu, kata Ketua Komisi I dari Fraksi Partai Golkar Theo L Sambuaga, pihaknya sempat menunda pembahasan RUU Rahasia Negara beberapa waktu lalu karena Komisi I ingin mendahulukan pembahasan UU KIP.

”Tujuannya agar kami bisa terlebih dahulu berkonsentrasi menuntaskan UU Keterbukaan Informasi Publik, yang nantinya kami akan minta agar pemerintah menyinkronkan RUU Rahasia Negara dengan UU itu. Kami juga sempat mengembalikan draf RUU Rahasia Negara untuk memberi pemerintah kesempatan menyinkronkannya dengan UU Keterbukaan Informasi Publik,” ujar Theo, pekan lalu.

Lebih lanjut, upaya mencari perbandingan juga sempat dilakukan Panja RUU Rahasia Negara yang mengunjungi dua negara, Thailand dan Hongaria, dalam waktu berbeda. Rombongan pertama ke Hongaria, 24-29 Juli 2009, sementara rombongan kedua ke Thailand, 27 Juli hingga awal Agustus 2009.

Studi banding dilakukan untuk mencari tahu seperti apa aturan rahasia negara di kedua negara tadi dan bagaimana pengelolaan serta penerapan yang mereka lakukan.

Sayangnya, dalam pengamatan Kompas, hasil studi banding ataupun pemaparan perbandingannya nyaris tidak pernah disinggung atau dipaparkan dalam rapat-rapat pembahasan panja setelahnya.

Acara itu pun nyaris tidak diketahui banyak kalangan, termasuk media massa, lantaran digelar pada masa reses.

Ditolak

Masyarakat Pers Indonesia, yang terdiri dari Dewan Pers, Persatuan Wartawan Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, Yayasan Sains Estetika dan Teknologi, serta sejumlah elemen masyarakat sipil lainnya, mendatangi Panja RUU Rahasia Negara, Selasa (8/9), menyatakan penolakan mereka.

Penolakan terutama didasari keyakinan banyaknya pasal dalam RUU yang tidak sesuai dengan semangat reformasi dan berpotensi menghambat, bahkan menjegal, upaya penegakan hukum, pemberantasan korupsi, pembentukan pemerintah yang bersih, akuntabel, dan transparan, serta penegakan prinsip hak asasi manusia.

Tidak cuma itu, sejumlah pasalnya, terutama terkait sanksi pidana penjara dan denda, diyakini bakal berdampak buruk membredel dan memberangus kebebasan pers, baik dengan membangkrutkan perusahaan media massa maupun dengan mengkriminalkan para jurnalisnya dengan mengatasnamakan keselamatan, kedaulatan, sekaligus keutuhan bangsa dan negara.

Agus Sudibyo dari Yayasan SET menilai rumusan rahasia negara kali ini masih sangat luas dan elastis. Tidak hanya itu, proses penentuan rahasia negara pun dilakukan secara dominan oleh presiden, yang juga dapat mendelegasikan kewenangan itu ke para bawahannya.

”Selain itu, banyak hal yang dirahasiakan murni bersifat kategorikal dan tidak melalui suatu uji konsekuensi dan uji kepentingan publik. Dengan ruang lingkup yang sangat luas, ditambah sifatnya yang sangat elastis tadi, rahasia negara tidak akan mungkin bisa dibuka walau dengan alasan demi melindungi kepentingan publik yang lebih besar,” ujar Agus.

Selain itu, sejumlah sanksi pidana, baik penjara maupun denda, dalam RUU itu diyakini pada praktiknya bakal menjadi bentuk bredel cara baru, terutama dengan nilai nominal denda yang sangat fantastis hingga miliaran rupiah.

Tidak heran, RUU itu diyakini banyak pihak bakal menjadi kado buruk pada akhir masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jika jadi disahkan dan diberlakukan.

RUU Rahasia Negara, Orde Baru Jilid Kedua

Kompas, Jumat, 11 September 2009 | 03:18 WIB

Jakarta, Kompas - Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara yang merupakan usul inisiatif pemerintah harus ditolak. RUU ini bisa mendorong Indonesia kembali menjadi negara otoriter atau Orde Baru jilid kedua.

Demikian pandangan Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Djafar Badjeber, Kamis (10/9), terkait akan dipaksakannya pengesahan RUU Rahasia Negara meskipun banyak mengundang kecaman berbagai elemen masyarakat sipil.

Sebagai calon anggota DPR terpilih, ia juga meminta anggota DPR periode 2004-2009 untuk menyerahkan pembahasannya kepada DPR periode berikutnya. ”Bila dipaksakan oleh DPR yang sekarang, saya khawatir undang-undang tersebut akan menabrak kebebasan pers, mengkhianati reformasi dan demokrasi,” ujarnya.

Menurut Djafar, sesungguhnya iklim kebebasan baru dinikmati bangsa Indonesia dalam sepuluh tahun belakangan ini. Dengan adanya RUU Rahasia Negara itu, kebebasan tersebut akan kembali dikekang seperti pada era Orde Baru. Akan ada lagi kontrol pemerintah terhadap pers, lembaga telepon, penahanan terhadap insan pers, sampai kepada pemberedelan. ”Awas Orba jilid kedua atau rezim otoriter,” katanya.

Sejauh ini Partai Demokrat sebagai partai pemerintah yang dibina langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan selalu menjanjikan kehidupan yang lebih demokratis dalam kampanye belum menunjukkan sikap penolakan atau penundaan pembahasan RUU Rahasia Negara itu.

Mencermati daftar inventarisasi masalah yang diajukan Fraksi Partai Demokrat, banyak yang sama persis dengan pasal-pasal yang diajukan pemerintah.

Kejahatan luar biasa

Pembahasan RUU Rahasia Negara oleh panitia kerja, Kamis, mulai memasuki pasal-pasal tentang sanksi pidana pembocoran rahasia negara.

Walau memicu kontroversi, pembahasan Pasal 44 RUU Rahasia Negara terkait sanksi pidana penjara dan denda yang ditetapkan terbilang lancar.

Bahkan, rumusan yang disepakati tidak jauh berbeda dengan rumusan pemerintah versi awal. Rumusan itu pada intinya mengatur soal ketentuan pidana, baik hukuman penjara maupun denda, yang ditetapkan dengan batas minimal dan maksimal sesuai dengan tingkat kerahasiaan informasi tersebut.

”Ketentuan hukuman pidana minimal dan maksimal diperlukan mengingat kejahatan pembocoran rahasia negara termasuk kategori kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Kejahatan itu bisa membahayakan keutuhan, keselamatan, serta kedaulatan bangsa dan negara,” ujar anggota panitia kerja dari Fraksi Kebangkitan Bangsa, Effendy Choirie.

Rata-rata hukuman pidana penjara paling sedikit tiga tahun (kategori rahasia) dan paling tinggi 20 tahun (kategori sangat rahasia), serta denda paling kecil Rp 100 juta hingga Rp 5 miliar (keduanya dalam kategori sangat rahasia).

Sementara dalam kondisi perang, ancaman hukuman yang ditetapkan jauh lebih berat, mulai dari pidana seumur hidup hingga hukuman mati.

Panitia kerja juga menolak keberadaan klausul tambahan tentang aturan pengecualian (escape clause), yang sebelumnya diusulkan sejumlah anggota panitia kerja dari fraksi partai politik.

Usul klausul pengecualian, antara lain, dilontarkan Dedi Djamaludin Malik dari Fraksi Partai Amanat Nasional. Ia mengusulkan perlunya pengecualian sanksi pidana denda terhadap jurnalis dan media massa.

”Saya yakin jurnalis dan media massa memang bakal sangat dan sering bersinggungan dengan ketentuan dalam rancangan undang-undang ini. Mereka bisa dengan mudah dipenjarakan. Mungkin perlu dipikirkan agar jurnalis tidak perlu lagi dikenai sanksi denda karena hal itu sama artinya menjadikan mereka sudah jatuh tertimpa tangga,” ujar Djoko Susilo dari Fraksi Partai Amanat Nasional. (SUT/DWA)

Kamis, 10 September 2009

Ancaman Pemberangusan Pers

Sanksi Pidana UU Rahasia Negara Sangat Berat

Kompas, Kamis, 10 September 2009 | 03:20 WIB

Jakarta, Kompas - Pemerintah diminta mengubah ketentuan sanksi pidana dalam Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara yang berpotensi memberangus kebebasan pers, pembredelan perusahaan media massa, dan pengkriminalan jurnalis.

Sanksi semacam itu dinilai masih mendominasi dalam sejumlah pasal dalam RUU Rahasia Negara dan menjadi salah satu sumber kecaman elemen masyarakat sipil dan pers. Ketentuan soal sanksi pidana ada dalam Bab X Pasal 42-49 RUU tersebut.

Dalam rapat pembahasan, Rabu (9/9), anggota Panja RUU Rahasia Negara, Dedi Djamaluddin Malik dari Fraksi Partai Amanat Nasional, mengingatkan, ancaman sanksi denda dengan angka nominal tinggi akan membebani media massa dan bahkan membangkrutkan perusahaannya.

”Padahal, kemampuan perusahaan media massa, apalagi di daerah-daerah, berbeda-beda. Kalau dendanya sampai miliaran atau bahkan ratusan miliar rupiah, dipastikan perusahaan-perusahaan media massa akan bangkrut dan mati,” kata Dedi.

Selain sanksi denda, ketentuan dalam Pasal 49 RUU Rahasia Negara juga berpotensi memberangus media massa.

Dalam pasal itu diatur tentang sanksi terhadap korporasi yang melanggar ketentuan tentang kerahasiaan negara.

Sebuah korporasi dapat diancam hukuman berada di bawah pengawasan, dibekukan, atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi yang terlarang jika terbukti melanggar UU tentang Rahasia Negara.

Menolak keras

Dari sejumlah alasan tersebut, Masyarakat Pers Indonesia pada Selasa kemarin mendatangi Panja RUU Rahasia Negara dan menyatakan sikap resmi menolak keras isi RUU Rahasia Negara rancangan Departemen Pertahanan.

Meski begitu, Staf Ahli Menteri Pertahanan Bidang Ideologi dan Politik Agus Brotosusilo membantah semua kekhawatiran tadi. Bantahan itu dia sampaikan baik dalam rapat panja maupun kepada wartawan seusai rapat.

Agus menyatakan, pemerintah bahkan telah merevisi dan akan menyampaikan hasil perubahan tersebut dalam rapat-rapat panja berikutnya. Revisi dibuat agar semua kekhawatiran yang muncul dan dilontarkan masyarakat selama ini tidak lagi terjadi.

”Kami sudah ubah beberapa klausul, seperti Pasal 44 tentang pidana penjara paling singkat, bervariasi dari dua hingga empat tahun, disesuaikan dengan tingkat kerahasiaannya. Juga soal sanksi pidana terhadap korporasi, yang kami batasi hanya akan dijadikan sebagai korporasi di bawah pengawasan,” ujar Agus.

Sebelumnya, dalam Pasal 44, sanksi pidana yang dicantumkan bervariasi, paling singkat lima hingga tujuh tahun dan paling lama 15-20 tahun sesuai tingkat kerahasiaan, dan ancaman pidana 20 tahun hingga hukuman mati terkait pelanggaran yang dilakukan dalam masa perang.

Lebih lanjut Agus mengingatkan, ancaman sanksi pidana yang diatur dalam Bab IX tidak dibuat atau diadakan khusus untuk menyasar pada media massa, jurnalis, atau perusahaan media massa.

Bukan hanya media

Sasaran sanksi pidana, termasuk denda dengan nominal tinggi, menurut dia, juga ditujukan kepada korporasi-korporasi multinasional bermodal kuat yang selama ini banyak mengincar informasi penting tentang kekayaan sumber daya alam Indonesia dengan berbagai macam cara.

”Kalau dikatakan tadi sanksi denda yang tinggi bakal membangkrutkan perusahaan media massa, kan dalam pasalnya disebut sanksi maksimal. Jadi, nanti tergantung hakim yang akan memutuskan. Kami yakin tentu saja hakim akan mempertimbangkan seadil-adilnya,” kata Agus.

Agus menambahkan, jika dalam praktiknya nanti hakim justru memutus sanksi denda yang berat, sementara diketahui kemampuan korporasi tersebut, termasuk perusahaan media massa, tidak mampu menjangkau, yang salah adalah hakim dan bukan ketentuan UU-nya.

”Tidak bisa juga kalau tadi dikatakan sanksi pidana disesuaikan ketentuan UU Pokok Pers. Risiko pembocoran rahasia negara, kan, bisa membahayakan kedaulatan dan keselamatan bangsa dan negara. Jadi, besaran nominal denda itu sudah kami sesuaikan dengan risikonya,” ujar Agus. (DWA)

Rahasia Negara dan Kebebasan

Kompas, Kamis, 10 September 2009 | 05:11 WIB

ARIF WICAKSONO

Ada hal menarik dalam perdebatan RUU Rahasia Negara dan menjadi perhatian insan pers serta masyarakat sipil.

RUU Rahasia Negara memiliki landasan yaitu melindungi penggunaan informasi yang kelak akan digunakan pejabat publik. Landasannya sederhana, RUU Rahasia Negara merupakan pembatasan terhadap informasi yang berpengaruh terhadap keamanan dan kepentingan publik.

Logikanya, jika informasi cukup ”spesial”, informasi itu tidak dapat diakses cuma-cuma. Bagaimana jika, misalnya, rakyat menggunakan akses itu untuk kepentingan akademik? Jika pejabat publik tidak dapat menggunakannya, bukankah rakyat juga mengalami hal serupa? Hal ini akan menimbulkan polemik jika akses rakyat disamakan dengan pejabat. Menjadi lebih pelik lagi jika informasi yang digunakan rakyat, misalnya, juga dapat digunakan pejabat bersangkutan.

Dalam beberapa pasal dinyatakan, RUU Rahasia Negara melegalkan negara memonitor hampir seluruh informasi tentang aspek sosial, hukum, ekonomi, dan pertahanan yang termasuk peliputan terhadap gerak barang, informasi, dan aktivitas di dalamnya. Ini adalah anomali rezim demokratis yang seharusnya melegalkan prinsip dasar kebebasan dan keterbukaan.

Konsep ”panopticon”

Pada dekade 1880-an, Jeremy Bentham mengeluarkan panopticion, konsep penjara untuk mengontrol manusia dalam penjara. Panopticion didesain dengan membatasi kesadaran narapidana dalam beraktivitas dan memberi kemudahan akses bagi sipir penjara untuk mengintai penuh kegiatan narapidana tanpa sepengetahuan narapidana.

Kontrol dilakukan dengan kaca khusus, membuat sipir leluasa mengawasi narapidana. Meski demikian, narapidana tidak menyadari bahwa kegiatannya diobservasi sipir (Bentham: 1882).

Dalam analogi tipe pemerintahan, konsep panopticon menjadi ideal dengan ulah pemerintah atau institusi demokratis yang tidak memberi transparansi atau keterbukaan bagi rakyat untuk menikmati proses pemerintahan yang berjalan.

Dalam RUU Rahasia Negara terlihat upaya negara memonitor rakyat dalam keterbatasan akses dalam dimensi sosial atau ekonomi yang dianggap rahasia. Penerapannya memang tidak seekstrem konsep Bentham, tetapi tidak juga menjauhi konsep Bentham karena pembatasannya membuat negara menjadi katalisator bagi arus informasi yang berkembang biak. Dengan kata lain, memberi peluang bagi terciptanya ruang kebebasan dan keterbukaan untuk dimonopoli ”sipir” berkedok negara.

Demokrasi Indonesia

Prospek kebebasan dan keterbukaan di Indonesia masih berkutat pada masalah kualitas institusi demokrasi dan komitmen mekanisme demokrasi. YB Mangunwijaya pernah mengingatkan, unsur komunisme dapat berada dalam sistem demokrasi saat kontrol negara menjadi ketat dan tidak memungkinkan masyarakat ”menikmati” proses politik, sosial, dan ekonomi secara bebas (Mangunwijaya: 1997).

Setali tiga uang dengan Fareed Zakaria dalam The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad (2003) yang mengatakan, dilema antara korelasi kesuksesan institusi demokrasi dan demokratisasi adalah saat sejumlah institusi demokrasi dengan legitimasinya justru tidak menghadirkan prospek keterbukaan dan kebebasan yang positif.

Artinya, sejumlah partai politik, institusi, dan lembaga demokrasi kebanyakan tidak menjamin prospek kebebasan dan keterbukaan dalam berdemokrasi karena dalam beberapa kasus, tujuan ideal demokrasi menjadi tumpul saat berhadapan dengan negara monopolistik meski berstruktur demokratis.

India memberi contoh baik. Sebagai negara berkasta yang memberlakukan kebebasan informasi bagi rakyatnya dengan Right to Information Act, India tak saja menjamin rakyatnya untuk mengelola informasi, tetapi juga menanyakan masalah kritis mengenai kinerja tata pemerintahan (Newsweek, 15/6/2009).

Bagaimana Indonesia? Sejak masa kemerdekaan, beragam gerakan muncul silih berganti dari zaman Petisi 50, masyarakat reformasi, masyarakat korban lumpur Lapindo hingga masyarakat korban pemilu, serta sejumlah kelompok lain, yang muncul sebagai respons atas kezaliman penguasa terhadap kebebasan dan keterbukaan. Namun, hasilnya masih jauh dari harapan.

Di balik umur proses transisi demokrasi yang mulai matang, muncul keresahan dalam perkembangan kebebasan dan keterbukaan. Salah satunya adalah kemunculan RUU Rahasia Negara yang tidak saja bersifat politis, tetapi menjadi masalah serius ketika pada saat yang sama rakyat menghasilkan banyak pertanyaan terkait isu penegakan hukum, politik, keamanan, ekonomi serta transparansi birokrasi yang kian menghangat dan pada saat yang sama negara menghasilkan produk RUU yang berpotensi mengaburkan kondisi nyata yang ada.

ARIF WICAKSONO Analis Sosial-Politik; Peminat Studi Demokrasi di Jurusan Ilmu Politik FISIP UI

Rabu, 09 September 2009

Panja RUU Ingin Hapus Kewenangan KPK

KPK Akan Diarahkan Hanya sampai Fase Penyidikan

Kompas, Rabu, 9 September 2009 | 03:42 WIB

Jakarta, Kompas - Upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi kian sistematis. Kini, upaya tersebut dilakukan melalui pembahasan undang- undang oleh Panitia Kerja Rancangan Undang- Undang Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi.

Panitia Kerja (panja) ingin memangkas kewenangan penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK akan diarahkan sampai pada fase penyelidikan. Terkait dengan hal tersebut, Indonesia Corruption Watch menyerukan dihentikannya pembahasan RUU tersebut.

Seruan itu diungkapkan Koordinator Badan Pekerja ICW Danang Widoyoko, Selasa (8/9) di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

Di tempat yang sama, anggota DPR Nursjahbani Katjasungkana, yang juga anggota Panja, mengungkapkan, beberapa fraksi di Panja memang mengusulkan penghapusan kewenangan penuntutan KPK. Hal itu muncul dalam pembahasan Senin (7/9) malam. Alasannya, pemberian kewenangan penuntutan kepada KPK menimbulkan dualisme jaksa dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi (tipikor).

Soal pemangkasan kewenangan itu, kata Nursjahbani, pemerintah masih menolak. Pasalnya, hal itu tidak ada di dalam Daftar Isian Masalah (DIM).

Selain itu, Nursjahbani juga mengungkapkan, Panja telah menyepakati komposisi majelis hakim tipikor (jumlah hakim ad hoc dan karier) diserahkan kepada ketua Pengadilan Khusus Tipikor yang dijabat secara ex-officio oleh ketua pengadilan negeri (PN). Dalam bagian penjelasan pasal itu, ketua PN akan mengacu pada peraturan Mahkamah Agung (perma) yang secara khusus akan dikeluarkan.

Mengenai tempat dan kedudukan, Panja DPR menyepakati bahwa pembentukan Pengadilan Khusus Tipikor akan dilakukan di 33 ibu kota provinsi. Namun, Panja memberikan waktu satu tahun untuk masa transisi. Apabila dalam jangka waktu itu Pengadilan Khusus Tipikor tidak juga didirikan, kasus korupsi dapat diselesaikan di PN.

Saat hal ini dikonfirmasi kepada Ketua Panja DPR Arbab Paproeka dan anggota Panja, Gayus T Lumbuun, keduanya tidak bersedia berkomentar. Mereka beralasan ada kesepakatan di antara anggota Panja agar semua informasi yang dibahas bersifat rahasia dan tidak boleh dikemukakan kepada publik.

Terkait dengan hal itu, Danang mendesak agar Panja DPR dan pemerintah menghentikan pembahasan RUU. Ia berharap penyelamatan Pengadilan Khusus Tipikor dilakukan melalui penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.

”Hasil pembahasan DPR sangat menyedihkan. Mengecewakan. Pemangkasan kewenangan penuntutan KPK sama artinya mundur 10 atau 20 tahun ke belakang,” ujar Danang. (ana)

Sipil Tolak RUU Rahasia Negara

Kado Buruk bagi Masyarakat, Paradigma Otoriter

Kompas, Rabu, 9 September 2009 | 03:39 WIB

Jakarta, Kompas - Sejumlah kalangan masyarakat sipil yang tergabung dalam Masyarakat Pers Indonesia mendeklarasikan penolakan resmi atas rumusan Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara. Penolakan tersebut disampaikan di depan anggota Panitia Kerja RUU Rahasia Negara dalam rapat dengar pendapat di ruang rapat Komisi I.

Jika pemerintah dan legislatif tetap bersikeras mengegolkan dan mengesahkan RUU tersebut pada masa akhir periode kerja DPR dan pemerintah, September 2009 mendatang, Masyarakat Pers Indonesia mengancam akan melakukan perlawanan.Rata Penuh

Pengesahan dan pemberlakuan RUU Rahasia Negara, seperti dirumuskan sekarang, diyakini bakal menjadi kado buruk bagi masyarakat oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono serta legislatif tepat pada akhir periode masa kerja mereka, 2004-2009.

”Kami akui ada perbaikan, tetapi rumusan RUU yang ada sekarang masih kontraproduktif, terutama bagi upaya penegakan demokrasi dan HAM, penyelenggaraan pemerintahan yang baik, pemberantasan korupsi, serta kebebasan pers,” ujar Agus Sudibyo dari Yayasan Sains Estetika dan Teknologi.

Hadir pula Leo Batubara, Abdullah Alamudi, dan Wina Armada dari Dewan Pers, Nezar Patria dari Aliansi Jurnalis Independen, serta wakil Serikat Penerbit Surat Kabar, Persatuan Wartawan Indonesia, dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia.

Agus menambahkan, pengesahan dan pemberlakuan aturan tentang rahasia negara hanya akan menjatuhkan posisi Indonesia di mata dunia, sebagai negara yang menerapkan aturan kerahasiaan negara yang melenceng dari standar internasional tentang ”hak untuk tahu” (right to know) dan ”kerahasiaan negara” (state secrecy).

Kondisi macam itu merupakan kampanye buruk terhadap pemerintah, yang pada akhirnya berdampak pada isu lain, seperti menurunnya daya tarik pihak asing berinvestasi di Indonesia hingga dampak ke industri pariwisata.

Paradigma otoriter

Leo Batubara juga menilai ketentuan yang ada dalam RUU Rahasia Negara masih berparadigma otoriter serta mengancam kemerdekaan pers dan juga kebebasan untuk berekspresi. Penilaian itu pernah dia sampaikan ke Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono saat datang ke Dewan Pers awal bulan lalu.

”Adalah sangat paradoksal ketika dalam dua putusan sebelumnya Mahkamah Konstitusi menyatakan, ketentuan yang dapat membredel pers dalam UU Pemilu dan UU Pilpres sebagai aturan yang inkonstitusional. Namun, kenapa sekarang aturan sejenis muncul lagi dalam rumusan RUU Rahasia Negara?” ujar Leo.

Leo mencontohkan rumusan Pasal 49 dalam RUU Rahasia Negara, yang memungkinkan adanya sanksi terhadap korporasi, termasuk perusahaan media massa. Dalam pasal itu disebutkan, korporasi dapat ditetapkan berada di bawah pengawasan, dibekukan, dicabut izinnya, dan bahkan dinyatakan sebagai korporasi terlarang jika melanggar aturan rahasia negara.

Belum lagi terkait Pasal 12 RUU Rahasia Negara, yang menyebutkan standar, prosedur, dan ruang lingkup perlindungan dan pengelolaan rahasia negara dirumuskan dan ditetapkan presiden serta akan diatur dalam sebuah peraturan pemerintah.

”Tolong dipahami, kami bukan menolak keberadaan aturan tentang rahasia negara. Kami hanya menolak RUU Rahasia Negara yang ada sekarang karena kami menilai dengan RUU ini justru masyarakat yang disasar, bukannya pengelola dan penggunanya,” ujar Wina Armada.

Menanggapi penolakan itu, sejumlah anggota panitia kerja yang hadir berkilah, RUU Rahasia Negara sudah lama dibahas. Pemerintah pun sudah bolak-balik diminta untuk memperbaiki dan merevisi sejumlah pasal.

Menurut Theo Sambuaga dari Fraksi Partai Golkar, sudah banyak perubahan dan perbaikan yang terjadi terhadap RUU itu.

”Sejak awal proses pembahasan, bahkan di tingkat panja pun dinyatakan terbuka, padahal biasanya tertutup. Itu karena kami tidak ingin merusak UU KIP yang kemarin kami usulkan dan juga termasuk melindungi kebebasan pers,” ujar Djoko Susilo dari Fraksi Partai Amanat Nasional.

Andreas Pareira dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menyatakan bisa menangkap keberatan dan poin-poin penolakan dari Masyarakat Pers Indonesia. (DWA)

Selasa, 01 September 2009

Beri Sedekah Dihukum. 12 Orang Diganjar Denda Rp 150.000-Rp 300.000

Kompas Selasa, 1 September 2009 | 08:46 WIB



Jakarta, Kompas - Dinas Sosial DKI Jakarta menangkap 12 warga Jakarta yang didapati sedang memberi sedekah kepada pengemis. Ke-12 orang itu disidang karena melanggar Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 mengenai Ketertiban Umum.

Kepala Dinas Sosial DKI Jakarta Budihardjo, Senin (31/8) di Jakarta Pusat, mengatakan, mereka ditangkap di sekitar perempatan Cempaka Putih, perempatan Senen, Tomang, TMII, Cilandak, dan perempatan Pramuka. Penangkapan dilakukan dalam beberapa hari terakhir dan sidang tindak pidana ringan langsung dilakukan sesudah penangkapan.

Hakim dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Timur memberikan sanksi berupa denda Rp 150.000-Rp 300.000 kepada pemberi sedekah itu. Hukuman itu jauh lebih ringan dibandingkan dengan ancaman hukuman dalam Perda Ketertiban Umum, yaitu kurungan maksimal 60 hari atau denda maksimal Rp 20 juta.

”Meskipun jauh lebih ringan dari ancaman hukuman di dalam perda, sanksi denda itu cukup untuk memberi efek jera bagi para pemberi sedekah. Sedekah itu sebaiknya disalurkan melalui panti-panti sosial yang ada,” kata Kepala Bidang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial DKI Jakarta Harwibowo.

Harwibowo mengatakan, jika tidak ada warga yang memberi sedekah kepada pengemis jalanan, orang juga tidak akan mau menjadi pengemis. Dengan demikian, jumlah pengemis akan berkurang secara alami.

Selain menangkap pemberi sedekah, Dinas Sosial dan Satuan Polisi Pamong Praja terus merazia gelandangan dan pengemis sejak awal bulan puasa.

Sejak awal bulan puasa hingga Senin sudah 1.003 penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang terjaring dan sekitar 70 persen di antaranya adalah gelandangan dan pengemis. Selain gelandangan dan pengemis reguler, banyak juga yang datang dari wilayah sekitar Jakarta.

Budihardjo menegaskan, panti sosial di Kedoya sudah menampung 170 orang, dari kapasitas tampung 500 orang. ”Panti sosial di Kedoya masih kosong, tidak benar kalau dikatakan sudah membeludak. Sebab, sebagian PMKS yang terjaring dan diproses hukum lewat sidang tindak pidana ringan mampu membayar denda. Jika tidak mampu, mereka akan digiring ke panti,” kata Budihardjo.

Menurut Harwibowo, pihaknya masih belum dapat menangkap koordinator pengemis yang mengerahkan pengemis dari luar daerah. Enam orang yang dicurigai menjadi koordinator pengemis sedang diburu Satuan Polisi Pamong Praja.

Koordinator Forum Warga Kota Jakarta Azas Tigor Nainggolan mengatakan, pihaknya setuju dengan pelarangan pengemis dan pengaturan pemberian sedekah. Namun, pendekatan untuk pelaksanaan Perda Ketertiban Umum itu jangan selalu dengan penangkapan.

”Masyarakat memberi sedekah secara langsung karena tidak memercayai institusi yang melayani sedekah secara formal. Institusi-institusi itu seharusnya mengevaluasi diri, kenapa warga lebih percaya memberi langsung daripada melalui institusi resmi,” papar Tigor.

Institusi penyalur sedekah secara resmi dan panti sosial harus bersikap transparan. Dengan demikian, kepercayaan masyarakat akan meningkat dan penyaluran sedekah secara langsung akan berkurang.

Di sisi lain, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pemerintah pusat harus mengefektifkan pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin. Jika kemiskinan dapat ditekan, jumlah pengemis juga akan berkurang. (ECA/CAL)

Buruh Rokok Jambu Bol Tuntut THR

Kompas Selasa, 1 September 2009 | 04:38 WIB

KUDUS, KOMPAS - Buruh pabrik rokok Jambu Bol yang berkantor pusat di Desa Ngembalrejo, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, menuntut manajemen agar memberikan tunjangan hari raya kepada mereka. Tuntutan para buruh tersebut diambil alih Ketua Serikat Pekerja Sektor Rokok Tembakau Makanan dan Minuman Jambu Bol Sugito.

”Saya sudah membuat tuntutan tertulis dan telah diterima pihak manajemen sebelum 17 Agustus. Saya bahkan minta ada pernyataan tertulis sehingga bisa saya pertanggungjawabkan kepada semua buruh. Pimpinan perusahaan berjanji, pertengahan bulan puasa, THR akan diberikan. Selanjutnya, secara bertahap diberikan pula hak-hak buruh yang belum diberikan sejak hampir setahun lalu,” ujar Sugito, Senin (31/8).

Sekitar 3.000 buruh rokok Jambu Bol ”mati suri” sejak setahun lalu. Dalam sebulan, mereka hanya bekerja selama lima hari, itu pun dengan pembatasan jumlah garapan. Menurut Sugito, pada November 2008 buruh tidak lagi bekerja di barak-barak.

Pekerja bulanan yang jumlahnya puluhan hingga kemarin masih masuk kantor meski upah mereka selama delapan bulan terakhir belum dibayar. Mereka sekadar hadir, lalu pulang dan mendapat uang makan Rp 1.200- Rp 3.500 per hari.

”Itu pun terkadang tidak dibayarkan tepat waktu. Sebenarnya seperti buruh harian dan borong, kami pun lebih senang agar perusahaan memberlakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), tetapi tampaknya perusahaan keberatan,” kata seorang pekerja bulanan yang telah bekerja lebih dari 30 tahun.

Sugito menambahkan, dirinya dalam posisi sulit. Di satu sisi, dia harus memperjuangkan hak-hak karyawan/buruh, tetapi induk organisasinya, yaitu Serikat Pekerja Sektor Rokok Tembakau Makanan dan Minuman Kabupaten Kudus, justru memihak kepada pengusaha. Pihak manajemen Jambu Bol seperti tidak mau tahu dengan nasib buruh.

”Mereka seperti tidak punya rasa kasihan terhadap penderitaan para buruh. Bupati Kudus sudah turun tangan, tetapi pihak perusahaan sampai sekarang menganggapnya bagai angin lalu saja,” tegas Sugito. (SUP)