Sabtu, 22 Agustus 2009

Sepi

Bingung mau menulis apa hari ini. Hanya ada sepi. Sepi di hati. Tak ada yang istimewa. Lalu lalang mobil, motor, becak, sepeda, pejalan kaki, pencari kerja, penagih utang, warung sate madura depan mataku, tukang ojek, dan beberapa muka musam tak jelas apa maunya tak mampu membangkitkan gairah hatiku untuk sekedar berteriak sembari tolak pinggang “Hoooi bangun!”. Sial, hatiku tak mampu untuk itu.

Kembali ku mulai minum kopi setelah beberapa tahun kutinggalkan dengan teman setianya, rokok. Ya, dua tahun sudah kutinggalkan mereka berdua. Kini kembali rujuk pada salah satu diantara mereka. Iringan matahari karya A M membawa kenangan entah kemana benak ini dulu pernah berlabuh. Tak tahu dimana tempat itu. Aku kenal, tapi sungguh dimana? Ah, kenapa kau sengsarakan aku begini rupa!

Lorong otakku buntu sekarang. Apa masalahnya aku sendiri tak tahu. Barangkali berpikir terlalu keras justru memuat sedikit. Atau jangan-jangan benar apa yang dikatakan Bob Sadino bahwa terlalu banyak belajar tanpa bertindak hanya akan menjadi sampah di kepala! Tapi aku kan sama sekali tak pernah belajar? Kenapa ikut-ikutan berisi sampah? Sayang sumber dimana ia mengatakannya aku lupa. Yang pasti langsung terekam di jejak memori kepalaku yang kian usang ini. Usang karena memang tak pandai ku merawat.-ml-

Tamat SMA

Aku hanya orang biasa. Tidak terkenal apa lagi populer. Tak punya koneksi politik dengan siapapun. Cita-cita yang pernah bergelayut semua dikepala rasanya harus satu demi satu kukubur dalam-dalam. Semua harus ada koneksi, baik uang ataupun orang. Hidupku sama dengan jutaan rata-rata Rakyat Indonesia. Rakyat lemah yang dibikin bodoh tersistematis dan massif. Barangkali, sekali berondong langsung tumpes tapis tanpa sisa. Pemerintah lebih senang membangun kekuatan militer dan jajaran aparatnya. Untuk apa? Kenapa tidak ekonomi yang diperkuat. Ah, tahu apa aku soal ekonomi. Aku terlalu bodoh untuk pelajaran yang masuk dalam kategori hapalan itu.

Ada yang bilang sekolah tak usah pinter-pinter. Cukup biasa saja asal nurut dan rajin masuk untuk sekedar hadir. Guru akan sayang pada kita. Persoalan UN yang konon menentukan kelulusan itu ada kok yang mengatur asal mampu bayar berapa per soal. Ketika lulus bagi orang biasa seperti aku tinggal urban ke Jakarta tempat harapan digantungkan. Sayangya aku harus menunda satu tahun lagi karena tak mampu bayar per soal. Atau pilihan kedua saran dari pemerintah, lulus dengan stempel Paket C yang memuakkan itu. Betapa tidak, kalau tahu akan dapat Paket C kenapa juga harus capek-capek masuk ke SMA, hanya buang dana, pikiran dan tenaga saja. Hendaknya khusus orang biasa seperti diriku ini cukup Paket paketan saja dari A, B kemudian C. Toh sama saja hasilnya menganggur tanpa mampu pemerintah memikirkan.

Sebuah ayat mengatakan nasib orang tak akan bisa dirubah tanpa ada kemauan orang itu sendiri yang merubahnya. Pada dasarnya kita setuju. Hanya mau dari mana merubahnya dan cara apa. Pada suatu waktu seseorang berbincang dengan salah seorang temannya “Kalau saya punya modal ada banyak jenis usaha yang dilakukan, sayang saya tak punya modal, ada nggak ya yang mau memberikan saya modal untuk usaha?”. Jawabannya ada. Tapi buat bohong-bohongan sekedar demi memenuhi rating citra yang ada. Salah satunya adalah Program KUR yang konon memberikan modal tanpa agunan itu pada kenyataanya tidak sama dengan apa yang digemborkan.

Belum lagi para pemodal besar. Kekuatan besar itu selalu membayangi dan menumpas yang kecil-kecil. Dalam ekonomi (ah, lagi-lagi ku berbicara ekonomi.. ) bebas, persaingan tanpa kontrol lah sumber dari malapetaka kehidupan bangsa ini. Jangan berharap pada pemerintah karena mereka justru berpihak pada pasar. Bukan pasar Klewer atau Wage, tapi pasar bebas! Itu, yang katanya semua orang dari penjuru dunia ini bisa transaksi seenaknya sendiri dimanapun, tak terkecuali negeri kita.

Hari demi hari harus berjuang keras untuk sekedar memuasi perut yang tak jarang kosong sepanjang hari. Barangkali hal itu pula yang membuatku tak lulus di tahun ini. Selalu kosong perut. Makan selalu sambal tentara dan tempe. Disebut sambal tentara karena warnanya yang berasal dari cabai hijau dan garam. Juga tak ketinggalan tempe yang konon membuat mental menjadi rendahan alias tak bernyali. Ternyata tidak hanya itu, masih berdasarkan mitos yang ada tempe membuat budek karena ampasnya memenuhi lubang telinga.

Mau cari lowongan kerja sulitnya setengah mati. Mungkin mati beneran jauh lebih enak. Pernah selintas mau bunuh diri tapi ingat bagaimana rasa sakitnya ku urungkan niat itu. Iya kalau langsung mati. Kalau ketahuan orang lantas ditolong terus tak jadi mati, mau taruh dimana muka yang pas-pasan ini!

Terakhir, mau tak mau kita memang harus menentukan nasib kita sendiri. Walau masih bingung dengan cara apa dan bagaimana, jalan saja. Toh kalau ketemu tembok akan nabrak. Ha ha.. kalau nggak ke kiri ya ke kanan. Kalau perlu kita robohkan bareng-bareng tembok itu. Biar kita tahu seperti apa indahnya pemandangan dibalik tembok itu. Piye? -ml-


^_^

Jumat, 21 Agustus 2009

Merdeka, yuk !

Siapa bilang hari ini kita merdeka? Merdeka macam mana yang tersaji dihadapan mata kita sekarang? Sayang, kemerdekaan yang justru memuakkan bagi Rakyat dewasa ini. Merdeka ala imperialis barat yang dengan senang hati menggerogoti segala sendi-sendi kehidupan Rakyat? Merdeka versi neoliberalisme yang tertawa terkial melihat kebodohan bangsa kita yang kian kocak? Atau merdeka ala para raja-raja kecil dan besar baik nasional maupun daerah yang tanpa kenal lelah menghimpun pundi-pundi kekayaan tanpa batas?

Ah, aku merasa merdeka karena baru saja menang lomba balap karung, panjat pinang, dan berbagai ajang unjuk sportifitas yang digelar tiap tahun selalu sama. Tak ada yang istimewa. Karena memang sama. Yang ada nasionalisme RT. Ketika kalah dengan RT sebelah dengan senang hati pasti terjadi tawuran. Belum lagi ditambah pemicu dangdutan yang mana goyangan megal megol membuat panas kepala atas dan bawah. Tapi tak usah diatur dengan moral. Kasihan. Ia makan dengan megal megol. Terlalu sombong kalau kita melemparkan pertanyaan “Emang tak ada pekerjaan lain?” Jangankan kita yang masih tekun melototi iklan baris lowongan kerja, pemerintah sendiri saja tak mampu memberikan pekerjaan yang layak. Bukan megal megolnya yang salah karena ternyata kepala kita sendiri yang kadang tanpa disadari membuat megal megol itu tambah liar dari pemiliknya.

Pengangguran dilihat dari sebuah angka statistic, buta huruf dipandang dari hal yang sama, angka-angka, sementara pemerataan dan diskriminasi pendidikan berdendang nada menyedihkan. Sekolah gratis sampai SMP hanya slogan semata. Sungguh sayang iklan yang telah ditayangkan dimana menghabiskan biaya tidak sedikit. Atau memang cukup dengan citra barangkali Rakyat dibikin kenyang. Silakan tengok pada sekolah berstempel gratis itu, apakah demikian adanya. Sialnya, lagi-lagi hanya Tuhan yang tahu. Kita sama sekali tak diberi tahu kalau pungutan itu tetap ada karena ternyata beda nama dan jenis kumis, melintang atau sekepal punya Pak Raden.

Disaat pemerintah menyelenggarakan ajang jual beli suara dan berbagai jenis kertas, semua ramai. Semua bicara Neolib berdasarkan kepentingannya. Yang konon pro terhadap Rakyat mengatakan bahwa Neoliberalisme buruk karena rakyat akan selalu dirugikan! Barang-barang tetap mahal, ekonomi makro yang dipikirkan ! pedagang kaki lima akan tergusur karena tak ada lagi jual beli barang nyata. Yang ada jual beli kertas, surat utang, dan berbagai jenis barang yang tak nyata, sementara yang tidak mau dibilang pro terhadap Neolib memutar lidah dengan berbagai macam definisi akademik yang menjengkelkan bagi telinga Rakyat jelata.

Pendapatan Rakyat tak pernah bertambah dari segi nilai. Pendapatan minimal dua dollar satu hari menurut lembaga dunia itu adalah sebuah pelecehan. Seenaknya membuat standar yang bagi kebanyakan orang semakin menyakitkan mengingat tak banyak yang dilakukan oleh lembaga itu ke arah lebih baik. Faktanya adalah masih jauh dibawah angka itu dibanding dengan kebutuhan yang setiap saat naik dimana pemerintah tak mampu mengendalikan. Lho, kan semua harga sudah diserahkan kepada pasar? Lalu apa pekerjaan pemerintah kalau semua sudah diserahkan pada pasar. Jangan-jangan harga diri bangsa juga tergadai pada pasar! Atau memang sudah terjadi barangkali? Hiruk pikuk yang ada hanya APS, Asal Paman Sam Senang? Ada yang bertanya mau dibawa kemana bangsa ini? Barangkali orang itu masih hidup di jaman Majapahit. Nyata-nyata sudah dibawa kesitu. - ml -